MENJUNJUNG
LANGIT........MENDUNG
MEMIJAK BUMI.........RETAK
(The History Of
Medan)
Episode Ketiga
Medan, Belawan, Bagan Deli, Ujung Tanjung
Hujan
belum juga reda, sudah dari jam setengah empat sore tadi hujan terus lebat
sementara petir semakin hingar-bingar terdengar sesekali dari atas atap
rumahnya yang mulai tua. Medan diawal November memang sedang mengalami musim
penghujan. Curah hujan memang tinggi dan hampir setiap hari Medan selalu hujan,
yaaa..... setidaknya gerimis saja. Apalagi jika hujan lebat seperti ini,
tetesan demi tetesan air hujan telah mulai membasahi lantai kayu rumah pak Hamdan.
Jainab anak tertua pak Hamdan harus mengumpulkan ember dari dapur untuk
menampung air hujan yang menetes semakin banyak dari atas atap agar tidak
membasahi seluruh permukaan lantai kayu yang telah mulai lapuk.
Sudah dari
setengah jam yang lalu bu Hamdan berdiri dibalik jendela, untuk kesekian
kalinya ia memandang ke jam dinding yang kacanya telah mulai memudar karena
dimakan usia dengan sarang laba-laba rumah yang
mengelilingi tepi-tepi dindingnya. Hatinya semakin bingung, itu terlihat
dengan jelas dari pandangan matanya dan gaya berdirinya yang sedikit bergoyang.
Dihentak-hentakkannya sesekali tumit kakinya kelantai kayu. “ sudah jam enam....
tapi ayah dan abangmu juga belum sampai”, gumamnya pada Jainab anak perempuan
tertuanya yang kini telah memasuki kelas 3 SMA Negeri yang tidak jauh dari
rumahnya. Adalah rejeki dari Allah karena begitu Jainab menamatkan SMP. Sekolah
baru dibangun pemerintah mulai beroperasi, lumayan......disamping sekolah
negeri ia juga tidak perlu mengeluarkan ongkos untuk kesekolah karena cukup
hanya dengan berjalan kaki saja. Lebih dari itu....Jainab juga tidak perlu uang
jajan....karena jika haus cukup berlari ke dapur rumah untuk minum. Jika lapar........,
biasa Jainab gak pernah lapar saat sekolah karena ketika otak nya kenyang oleh
ilmu yang diberikan guru maka kenyanglah perut nya. Terkadang pendidikan
menjadikan manusia memahami kondisi lebih kuat dari pada hanya sekedang rasa
lapar dan haus. Jainab lebih sensitif terhadap hausnya otak akan ilmu dari pada
hausnya tenggorokan oleh panasnya mentari.
Jainab
hanya diam seribu bahasa, ia seolah tidak mendengar apa yang dikatakan Ibunya
dan hanya sibuk menggeser-geser ember untuk menenpatkannya hingga pas dengan
tetesan air yang jatuh dari atap rumah agar tidak mengenai lantai kayu yang
telah mulai bolong satu persatu. Terdengar sekali lagi Ibu nya berbicara
sendiri seolah memberikan pengumuman pada masyarakat Bagan Deli Belawan atau
seluruh manusia pengisi dunia ini. Musim penghujan yang mulai tiba, selain
memberikan rahmat pada segenap bumi. Juga menghadirkan ombak dan badai yang
tinggi di tengah lautan.
Angin
koncang seperti ini terkadang bukannya menghasilkan tangkapan ikan yang
banyak, namun ombak dan riak yang tinggi menjadi penyebab sampan dan pukat
harus menepi. Kehidupan masyarakat pesisir yang hanya menggantungkan kehidupan
dari jerih payah hasil tanggkapan ikan di laut memang lagi sulit. Apalagi jika
musim seperti ini, ke khawatiran lah yang lebih menghampiri seluru penghuni
rumah dari pada harapan akan hasil tangkapan ikan yang banyak.
Matahari masih malu-malu
menunjukkan seluruh wajahnya namun kicauan burung dan deru suara samapn
nelayang telah hingar bingar kedengaran diantara padatnya perumaham penduduk
Bagan Deli. Seperti hari-hari sebelumnya istri pak Hamdan telah lama terbangun.
Pagi sebelum subuh tadi pak Hamdan baru saja pulang melaut dengan selamat,
namun hanya membawa satu plastik pakaian kotor yang basah karena di siram
hujan.
Tadi
siang sepulang sekolah, Jainab sempat bercerita pada ibunya, kalau uang SPP dan
uang buku nya harus di bayar sebelum akhir bulan ini. Ujian semester akan
segera tiba, itu berarti uang SPP sampai akhir semester harus dilunasi, begitu
juga dengan uang buku. Jainab takut jika tunggakannya ke sekolah tidak
dilunasi, ancaman pihak sekolah untuk
tidak memberi izin siswa mengikuti ujian akan menimpa dirinya. Apalagi bu Nur
yang pengurus koperasi, setiap harinya selalu menagih hutang buku yang harus
dilunasi. Rasa malu terkadang hinggap di hati Jainab, tapi harus gimana lagi.
Himpitan kemiskinan menyebabkan muka memang harus sedikit tebal. Tebal oleh
kemauan menuntut ilmu walau tidak jelas kemana akan bertambat setelah selesai
SMA.
Terkadang
hanya sang hyang widi (Allah) tempat Jainab mengadu. Dalam kegelapan malam
disaat semua penduduk telah terlelap sebuah asa terkadang terlontar dari bibir
mungil nan anggun seorang gadis melayu pesisir “ Ya...Allah...disaat
aku dalam renangan janganlah engkau beri pendayung yang patah.....karena aku
hendak mencapai pinggiran pantai yang mulai mengambang”.
Pertikaian
kembali dan kembali terulang kembali di sekolah. Jainab cuman mendengar dari
bisikan anggota osis yang pada dekat dengan guru. Sebagai siswa miskin tentu
saja pemerintah tidak akan ambil diam. Tentu saja harus begitu......kan pakir
miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Alhamdulillah ratusan
siswa miskin di sekolah nya mendapatkan Bantuan Siswa Miskin (BSM) dari pemerintah,
yang mungkin tidak seberapa namun sangat berarti bagi Jainab dan kawan-kawan
yang bernasib sama seperti dia. Namun entah sudah berapa lama dana yang telah
dicairkan pemerintah untuk di terima nya tidak pernah sampai di tangannya. Jainab
Tak tau siapa yang harus bertanggung jawab. Namun Jainab yakin jika Allah maha tau kondisi sebenarnya.
Sampai kapan kita
akan menutup mata pada pendidikan yang kita katakan sebagai modal bagi
perubahan bangsa.
Sampai kapan
pengelola pendidikan diberikan pada mereka yang lebih mementingkan keniscayaan
pribadi dari pada keniscayaan Jainab dan kawan-kawan nya.